20 September 2024

Blinkiss ID

Berita dan Video Kilat Terkini

Kekeringan di Desa Pematang Rahim, Kehancuran Lingkungan dan Kebijakan Perusahaan

2 min read

JAMBI, blinkiss.id Suara mesin chainsaw bergema di hutan, mematahkan keheningan alam. Rusnawati, seorang anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Pematang Rahim, menyaksikan dengan pasrah saat pohon-pohon besar tumbang ke tanah. Dua lelaki membawa parang, mengejutkan hati Rusnawati yang terpaku dalam ketakutan. “Saya pernah melihat mereka menebang kayu. Tapi diam saja, saya takut,” cerita Rusnawati di rumahnya.

Namun, ancaman terbesar yang melanda desa ini bukanlah perambah hutan, melainkan kekeringan. Saat musim kemarau, air di rumah Rusnawati sering mati. Beberapa tahun terakhir, warga desa ini harus bergantung pada air tanah dengan kedalaman lebih dari 100 meter. “Kalau kemarau, air sering mati. Kami harus pergi jauh ke anak danau (lopak) yang berjarak lebih dari 1 kilometer dari rumah untuk mengambil air,” ungkap perempuan pemadam api ini.

Perubahan dramatis ini telah terjadi sejak perusahaan beroperasi di desa tersebut sejak tahun 2004. Perusahaan tersebut membuka hutan gambut di belakang desa, dengan luas ribuan hektar. Mereka menanam akasia dan eucalyptus, tanaman yang tidak sesuai dengan ekosistem asli hutan gambut. Selain itu, perusahaan juga membangun jaringan kanal untuk mengendalikan air sesuai kebutuhan mereka. “Ketika musim hujan, kanalnya dibuka. Kalau musim kering, kanalnya ditutup rapat. Akhirnya, kami kekeringan saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim hujan,” keluh Rusnawati.

Namun, masalah ini tidak hanya melibatkan satu perusahaan. Desa Pematang Rahim dikelilingi oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), pemegang izin hutan tanaman industri, PT Agrotamex Sumindo Abadi (PT ASA), perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan bahkan Petrochina Ujung Jabung Ltd, perusahaan migas yang juga mengantongi izin di kawasan hutan lahan gambut.

Dalam situasi ini, hutan lindung gambut Sungai Buluh seluas 17.476 hektar yang mencakup hutan desa Pematang Rahim dengan luas 1.185 hektar, tenggelam dalam tekanan dari sejumlah perusahaan besar. PT Wira Karya Sakti seluas 23.993 hektar, PT Mendahara Agro Jaya Industri anak PTPN VI 3.231,95 hektar, PT Kaswari Unggul seluas 10.500 hektar, dan PT Indonusa Agro Mulya seluas 10.670 hektar, semuanya mempersempit dan mengancam hutan lindung tersebut.

Kekeringan yang dirasakan oleh warga desa adalah cerminan dari kerusakan ekosistem gambut yang telah terjadi. Perusahaan-perusahaan ini mungkin menguntungkan bagi industri, tetapi mereka telah membawa malapetaka bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, penting bagi otoritas dan organisasi lingkungan untuk bersatu dan mencari solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi perubahan lingkungan yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat dan ekosistem gambut yang berharga ini. Informasi ini disadur dari berita terpercaya.

Facebook Comments Box
Translate »