Menjadi Wartawan Kritis Dan Kreatif, Pelajaran dari Mohammad Nasir
3 min readDi sebuah hotel bersejarah yang kini dikenal sebagai Grand Inna, suasana di ruang pertemuan dipenuhi antusiasme dan sedikit kegugupan. Hotel ini terkenal dengan arsitektur klasiknya yang memukau, menciptakan latar yang sempurna untuk pelatihan. Hari itu, 24 September 2024, adalah hari kedua dari pelatihan jurnalisme yang diadakan oleh Sekolah Jurnalisme Indonesia. Peserta berjumlah sekitar 40 orang, terdiri dari wartawan dari berbagai media di Sumatera Utara dan mahasiswa aktif dari kegiatan pers kampus, berkumpul berharap mendapatkan ilmu berharga untuk membekali mereka sebagai wartawan di masa depan.
Sosok yang paling dinantikan adalah Mohammad Nasir, pengajar di Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI dan penguji kompetensi wartawan. Dengan pengalaman luas sebagai wartawan di Harian Kompas dari tahun 1989 hingga 2018, ia dikenal karena metode pengajarannya yang interaktif. Dengan senyum hangat, ia memasuki ruangan, disambut oleh para peserta yang siap dengan buku catatan dan secangkir kopi panas.
“Selamat siang, semuanya!” sapanya, suaranya penuh semangat. “Hari ini, kita akan menjelajahi dunia jurnalisme dengan cara yang sedikit berbeda. Silakan minum kopi atau teh dan nikmati snack yang telah disediakan.”
Suasana santai ini mengundang banyak tawa dan canda di antara peserta, yang merasa lebih bebas untuk berinteraksi. Mohammad memulai sesi dengan menceritakan pengalaman saat meliput berita besar, menjelaskan tantangan yang dihadapinya, serta pentingnya berpikir kritis terhadap informasi.
“Menjadi wartawan bukan hanya tentang melaporkan fakta,” lanjutnya. “Kita harus mampu menggali lebih dalam. Apakah semua yang kita baca itu benar? Siapa yang mengatakannya, dan apa motivasi di balik berita itu?”
Mohammad menjelaskan pentingnya memeriksa sumber, mengecek fakta, dan melakukan verifikasi, serta memberi contoh konkret tentang kasus berita palsu yang pernah viral. Satu kesalahan bisa menghancurkan reputasi seseorang dan mempengaruhi banyak orang.
Dalam pembahasannya, ia menekankan pentingnya berpikir kritis demi kebenaran. Berpikir kritis bertumpu pada sikap meragukan terhadap segala hal dan bersikap skeptis terhadap teks, baik pernyataan lisan, tertulis, atau simbol-simbol yang dirancang untuk menyampaikan informasi. Ia menegaskan bahwa seorang wartawan tidak boleh beropini dan bahwa sering kali, wartawan yang berpikir kritis dapat dianggap cerewet.
Nasir juga menekankan bahwa manusia bukanlah sosok pasif. Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran. Kebenaran tidak hanya datang dari satu arah, yakni penguasa. Sebaliknya, manusia sebagai sosok rasional berhak untuk mencari kebenaran dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak.
Peserta menyimak dengan seksama, terlihat sangat semangat. Namun, saat diskusi berlanjut, salah satu peserta mengangkat tangannya dan menyatakan, “Ketika saya diajak berpikir kritis, saya merasa ada tekanan yang besar. Kadang, berpikir kritis justru membuat kita tertekan untuk memenuhi harapan orang lain.”
Pernyataan itu membuat suasana sejenak hening, dan peserta lainnya terlihat bingung. Peserta mulai mendiskusikan perasaan serupa, berbagi pengalaman tentang bagaimana berpikir kritis sering kali terasa berat, terutama dalam lingkungan kerja yang kompetitif. Peserta mempertahankan pandangan bahwa kadang-kadang, mempertanyakan informasi bisa menimbulkan risiko, terutama ketika berhadapan dengan otoritas atau tekanan dari atasan.
Mohammad mendengarkan dengan bijaksana, mengakui tantangan yang dihadapi peserta. “Saya memahami tekanan itu,” katanya. “Namun, ingatlah bahwa sebagai wartawan, tugas kita adalah untuk mencari kebenaran, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko.”
Setelah beberapa jam berdiskusi, Mohammad mengajak peserta berpikir tentang tantangan wartawan di era informasi cepat ini. “Bagaimana kalian bisa memastikan bahwa berita yang kalian sajikan adalah berita yang bisa dipercaya?” tanyanya.
Diskusi berlanjut dengan berbagai perspektif. Beberapa peserta berbagi cerita tentang berita yang pernah mereka tulis dan tekanan untuk menyajikan informasi dengan cepat. Dan berbicara dengan penuh semangat, saling mendukung serta memberikan saran kepada satu sama lain.
Saat sesi hampir berakhir, Mohammad menekankan pentingnya berpikir kritis dalam setiap aspek kehidupan. “Jurnalisme bukan hanya tentang melaporkan berita. Ini adalah tentang menciptakan kesadaran. Jadi, ketika kalian melangkah ke dunia nyata, ingatlah untuk selalu bertanya dan mencari kebenaran.”
Usai pertemuan itu, peserta pun mengakhiri sesi di hari kedua dengan semangat. Peserta merasa termotivasi untuk menerapkan apa yang telah dipelajari. Selanjutnya, pada Rabu, 25 September 2024, peserta akan kembali mengikuti Sekolah Jurnalisme Indonesia di Sumut yang diselenggarakan oleh PWI Pusat.
Di akhir sesi, suasana menjadi emosional. Peserta mengucapkan terima kasih kepada Mohammad atas pelajaran berharga yang mereka terima, dengan beberapa mencatat kutipan inspiratif yang diucapkan. Kesan yang ditinggalkan sangat mendalam—bukan hanya tentang teknik jurnalisme, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang harus dijunjung tinggi.
Dengan senyuman, Mohammad berfoto bersama peserta, terlihat bangga telah memberi inspirasi dan membuka pikiran para calon jurnalis. Kini, para peserta siap menghadapi tantangan di dunia jurnalisme dengan semangat baru dan rasa percaya diri yang tinggi.
Kisah di Hotel Grand Inna akan dikenang sebagai titik awal perjalanan peserta SJI dalam dunia yang penuh tantangan namun sangat berarti—sebuah pijakan inspirasi yang akan memandu peserta dalam melangkah ke depan.