24 September 2024

Blinkiss ID

Berita dan Video Kilat Terkini

DPD SP PLN UIP SBU Tegas Tolak Skema Power Wheeling Dalam Keketagalistrikan Tanah Air

5 min read

Medan, BLINKISS – Senada dengan arahan Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, penolakan terhadap _Power Wheeling_ yang merupakan, sebuah konsep yang dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, penolakan juga digaungan DPD SP PLN Unit Induk Pembangunan Sumatera Bagian Utara (UIP SBU).

 

Ketua DPD SP PLN UIP SBU Lud Rudy Anggoro mengatakan, power wheeling yang menciptakan mekanisme _Multi Buyer Multi Seller_ (MBMS) tersebut, sangat memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Apalagi _Power Wheeling_ terdiri dari dua jenis transaksi, yakni _Wholesale Wheeling_ dan _Retail Wheeling_.

 

“Perlu kami ulangi, seperti apa yang dijelaskan Ketua Umum SP PT PLN (Persero) M Abrar Ali, _Wholesale Wheeling_ terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya. Sedangkan _Retail Wheeling_ memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya,” urai Lud dalam keterangan persnya di Medan, Selasa (24/9/2024

 

Kedua model ini, kata dia, menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema _open access_, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar Toll Fee.

 

Namun, lanjutnya, penerapan _Power Wheeling_ dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi. 

 

Dikatakan Lud juga., ada beberapa dampak negatif dari Power Wheeling_ berdasarkan analisis dari berbagai perspektif, antara lain

 

Dampak Keuangan:

1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik:

_Power Wheeling_ dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan

permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.

 

2. Beban Keuangan Negara:

Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema _Power Wheeling_

diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup

cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban _Take or Pay_ (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun.

 

Dampak Hukum:

1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022:

_Power Wheeling_ merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan _unbundling_. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

2. Mereduksi Peran Negara:

Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.

 

3. Potensi Sengketa:

_Power Wheeling_ dapat memicu perselisihan terkait harga, _losses_, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik _(blackout)_ dan merugikan masyarakat luas.

 

Dampak Teknis:

1. Memperparah _Oversupply_:

Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami _oversupply_.

Penerapan _Power Wheeling_ berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena

pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan

tidak stabil.

2. Meningkatkan Risiko _Blackout_:

Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan

untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.

 

Dampak Terhadap Ketahanan Energi:

1. Ketersediaan Akses Listrik:

Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.

2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau:

Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk _spinning reserve_ akan

meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta BUMN.

3. Emisi Rendah:

Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan _Power Wheeling_. Hal ini sesuai dengan rencana _Net Zero Emission_ (NZE) 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.

 

“Konsep _Power Wheeling_ dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi

penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara,” paparnya.

 

Lanjut Lud, latar belakang _Legal Power Wheeling_ dan Privatisasi Energi, Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.

 

Menurutnya, kemunculan kembali skema _Power Wheeling_ dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.

 

Selain itu, dikatakan Lud Rudy Anggoro, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT. 

 

“Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional,” sebutnya.

 

Studi Kasus Filipina: Pelajaran dari Privatisasi dan _Power Wheeling_

Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema _Power Wheeling_ dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001.

 

Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan _Power Wheeling_. Berikut beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia. 

 

1. Kenaikan Harga Listrik:

Sejak penerapan skema _Power Wheeling_ di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.

2. Potensi Terbentuknya Kartel:

_Power Wheeling_ memungkinkan produsen listrik swasta menjual langsung ke konsumen dan menetapkan harga sesuai dengan dinamika pasar. Hal ini membuka peluang bagi pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi persaingan sehat di sektor ketenagalistrikan.

3. Keberlanjutan Pasokan Listrik:

Filipina menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah privatisasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik tidak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat mengganggu keandalan sistem.

4. Beban APBN:

Di Indonesia, _Power Wheeling_ berpotensi menambah beban APBN secara signifikan.

Skema ini diperkirakan akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30% dan non-organik hingga 50%. Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara pemerintah harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau.

 

Tantangan-Tantangan Lain yang Dihadapi Indonesia:

Selain belajar dari pengalaman Filipina, Indonesia perlu menghadapi beberapa

tantangan utama dalam implementasi _Power Wheeling_, termasuk:

 

1. Regulasi yang Mendukung:

Diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum

dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan

 

2. Keberlanjutan Investasi:

_Power Wheeling_ membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur

ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.

3. Beban Subsidi Listrik:

Dengan skema _Power Wheeling_, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran (demand and supply). Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.

4. Keberlanjutan Pasokan:

PLN harus menanggung beban tambahan dari _spinning reserve_ dan intermitensi

pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan subsidi dari APBN.

 

“Penerapan _Power Wheeling_ justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, _Power Wheeling_ dinilai lebih sebagai “benalu” dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara,” tegasnya.

 

Dengan memperhatikan berbagai perspektif ini, sambungnya, kebijakan _Power Wheeling_ sebaiknya ditinjau kembali agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir, demi menjaga kestabilan dan ketahanan energi nasional serta melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat.

Facebook Comments Box
Translate »