20 September 2024

Blinkiss ID

Berita dan Video Kilat Terkini

Ketua KPPU : Jargas Kota Sebagai Solusi Pengganti Subsidi LPG 830 Triliun

3 min read

Blinkiss.id, Jakarta

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Fanshurullah Asa mengungkapkan bahwa keberadaan jaringan gas (jargas) kota akan menjadi solusi terbaik sebagai pengganti subsidi juga biaya dikeluarkan pemerintah mendistribusikan gas LPG mencapai Rp 830 triliun.

KPPU melihat kebijakan tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam kebijakan jargas, sementara subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depan.

Oleh karena itu, guna menghemat anggaran Pemerintah, Ketua KPPU akan mendorong pemerintahan yang berani menempuh langkah peralihan subsidi gas LPG 3 Kg kepada pembangunan jargas kota, secara bertahap mengurangi alokasi subsidi untuk wilayah yang akan dibangun jaringan gas.

Hal ini dibenarkan Ketua KPPU dalam diskusi media terkait kinerja 100 Hari Anggota KPPU Periode 2024-2029 yang dilaksanakan pada 3 Juli 2024, Sabtu (6/7/2024)

“Dibutuhkan kepemimpinan kuat serta berani mengambil langkah strategis untuk mengganti subsidi gas LPG menjadi perluasan jaringan gas kota demi menghemat APBN, karena penggunaan subsidi saat ini tidak tepat sasaran”, tegas Ifan.

Sebagai informasi, pengembangan jargas termasuk Program Strategis Nasional (PSN) mengacu pada Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2018.

Pengembangan jargas juga masuk RPJMN 2020-2024, dimana telah ditetapkan target penggunaan jargas sampai 2024 yang mencapai 4 juta SR. Namun realisasi jargas sampai tahun 2024 hanya mencapai 20 persen dari target APBN.

Hal ini dapat disebabkan oleh kebijakan monopoli kepada PT. Pertamina Gas Negara, Tbk yang tidak membuka serta berhasil melibatkan BUMD dan swasta untuk melakukan investasi di jargas kota.

Keterbatasan jaringan pipa gas mengakibatkan konsumen bergantung pada LPG khususnya kemasan 3g. Data menunjukkan bahwa konsumsi LPG 3Kg terus meningkat tiap tahun, sementara LPG (non subsidi) stagnan dan cenderung turun dan terindikasi beralih ke LPG bersubsidi.

Tercatat, tingkat konsumsi LPG 3 Kg meningkat dari 6,8 juta MT di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023 (tumbuh 3,3 persen secara rata rata dalam lima tahun terakhir).

Sejalan dengan hal tersebut, biaya subsidi LPG 3Kg terus meningkat (rata rata tumbuh 16% selama 5 tahun), dari Rp 54,1 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 117,8 triliun di tahun 2023.

Tahun ini, terdapat alokasi subsidi LPG sebesar Rp 87,5 trilliun. Sehingga sejak tahun 2019, total subsidi diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp 460,8 trilliun. Dengan fakta bahwa mayoritas LPG berasal dari impor, maka diperkirakan total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp 288 trilliun.

Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dalam periode yang sama (yakni sebesar Rp 373 trilliun), maka rasio biaya impor LPG mencapai 77% dari total subsidi LPG.

Jika digabung subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor mencapai Rp 833,8 triliun. Besaran sangat signifikan mencerminkan devisa yang hilang serta opportunity loss subtansial, terutama apabila dapat digunakan pembangunan dan pengembangan jargas kota. Tanpa ada perubahan signifikan dalam kebijakan jargas, subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depannya.

Sebagai ilustrasi, apabila 50% dari total akumulasi dana subsidi LPG digunakan untuk pembangunan jargas kota, dengan asumsi 1 sambungan rumah (SR) = Rp 10 juta, maka dapat dibangun 23 juta SR dalam periode 5 tahun. Tidak hanya ini akan melewati target RPJMN, peralihan ini juga akan berdampak signifikan terhadap penurunan impor LPG dan penghematan devisa bagi negara.

Ketua KPPU berpendapat bahwa skema jargas dapat dikembalikan lagi keskema APBN yang pernah dilaksanakan sejak tahun 2011-2019 dan berhasil mencapai sekitar 600 ribu SR. Serta menyetop penggunaan APBN untuk pembangunan pipa transmisi yang tidak ekonomis secara sisi permintaan, seperti Cisem, Dumai-Semangke, atau ruas lainnya.

“Ruas-ruas yang berdekatan dengan industri, antara lain Kawasan Industri Kendal, Kilang Batang, Kilang Balongan, Kilang Patimban, sehingga dipastikan akan menarik banyak minat investasi BUMN, BUMD, atau swasta untuk pembiayaan pembangunannya. Jadi APBN dapat digunakan pada proyek strategis nasional yang lebih tepat untuk mewujudkan energi berkeadilan”, papar Ifan.

Lanjutnya, untuk menunjang adopsi penggunaan jargas, diperlukan kebijakan alokasi gas dari sisi hulu sampai ke distribusi yang tranparan oleh Kementrian ESDM. Kebijakan yang transparan, resiko ketidakpastian pasokan pelaku usaha niaga gas akan berkurang dan pengembangan sektor hilir migas akan makin pesat.

Perimbangan harga jual jargas untuk rumah tangga dan industri kecil komersial dengan harga gas hulu juga dibutuhkan agar menarik minat investasi badan usaha swasta dan BUMD.

Minat investasi ini perlu dibangun di daerah untuk mengembangkan jaringan retail gas terkoneksi dengan jaringan distribusi yang sudah berjalan dengan skema open access yang transparan dan non diskriminatif dengan pengaturan oleh BPH Migas.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif fiskal bagi badan usaha yang berminat mengembangkan jaringan pipa gas ke konsumen dengan memberikan prioritas kepada badan usaha niaga gas dan LPG yang telah ada.” (JB Rumapea)

Facebook Comments Box
Translate »