KPPU: Industri Gula Cenderung Berkembang Menjadi Oligopoli
3 min readBlinkiss.id, Jakarta
Permasalahan industri gula, khususnya tata niaga gula, sering menjadi perhatian oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Secara umum, kajian KPPU menyimpulkan industri gula cenderung berkembang menjadi oligopoli, dari sisi produsen sampai dengan distribusinya. Kebijakan Pemerintah melakukan tata niaga impor justru semakin memperkuat struktur.
Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama pada Sekretariat Jenderal KPPU menyebutkan hal itu lewat siaran persnya diterima melalui Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas Senin (4/11/2024).
Berbagai cara telah dilakukan KPPU untuk mengatasi persoalan di industri, mulai dari kajian, pemberian saran juga pertimbangan, hingga pada penegakan hukum.
Ketua KPPU M Fanshurullah Asa mengatakan kondisi ini membuat industri gula menjadi salah satu fokus utama pengawasan KPPU agar industri tersebut lebih kompetitif.
“Industri gula adalah salah satu prioritas KPPU, sehingga dipantau secara konsisten. Kami sudah melakukan berbagai kajian dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dan Menteri terkait untuk pembenahan industri tersebut.
Bahkan penegakan hukum juga telah dilakukan atas berbagai persoalan seperti proses lelang gula ilegal, distribusi gula, hingga jasa survei gula impor,” ungkap Ifan, panggilan akrab M Fanshurullah Asa.
Sebagai informasi, tercatat KPPU telah dua kali menyampaikan saran juga pertimbangan kepada Pemerintah terkait pembenahan industri gula. Pada Januari 2004, KPPU menggarisbawahi mekanisme penunjukan importir produsen serta importir terdaftar
yang berpeluang menciptakan hambatan pasar dan memfasilitasi kartel antar pelaku usaha.
Pada September 2010, KPPU telah memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden RI yang antara lain mendorong penyempurnaan kebijakan tata niaga gula dengan menetapkan harga secara rigid di setiap level distribusi, termasuk penetapan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat konsumen.
Selain itu, KPPU juga mendorong Pemerintah untuk membangun road map industri gula nasional untuk menghasilkan industri gula yang mampu menghasilkan harga gula kompetitif dan mampu bersaing untuk pasar manapun, serta meninjau ulang kebijakan dana talangan selama Pemerintah memiliki kemampuan dalam menjamin harga gula petani senantiasa berada di atas harga dasar gula.
Penanganan perkara juga dilakukan KPPU beberapa kali di industri gula. Yang mendapat perhatian publik adalah Perkara No. 4/KPPU-L/2005 terkait persekongkolan tender lelang gula ilegal.
Dalam perkara ini, KPPU menerima laporan yang menyatakan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan lelang barang bukti perkara tindak pidana kepabeanan. Kegiatan lelang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Utara melalui PT Balai Mandiri Prasarana pada tanggal 4 Januari 2005 di Hotel Sheraton Media.
Perkara yang berkaitan dengan kegiatan lelang barang bukti gula ilegal sebanyak 56.343 ton tersebut, dilaksanakan tidak sesuai ketentuan serta pengumuman lelang tidak dipublikasikan dalam harian umum yang berskala nasional.
Pada prosesnya lelang hanya diikuti dua peserta. Perkara ini melibatkan empat Terlapor, yakni PT Angels Products, PT Bina Muda Perkasa, Sukamto Effendy, dan Ketua Panitia Lelang. Dalam perkara ini, KPPU menjatuhkan denda kepada PT Angels Products, PT Bina Muda Perkasa, dan Sukamto Effendy masing-masing sejumlah Rp 1 miliar.
KPPU telah berhasil membuktikan bahwa ada keterkaitan antar peserta tender guna menciptakan persaingan semu dalam lelang gula ilegal.
Tercatat ketiga Terlapor telah membayarkan denda pelanggaran tersebut pada tahun 2008. Kemudian juga ada Perkara No. 8/KPPU-I/2005 terkait dugaan pelanggaran Pasal 5
ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 dalam penyediaan jasa survey gula impor oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
Serta Perkara No. 5/KPPU-L/2006 terkait dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf a dan huruf d berkaitan dengan kegiatan distribusi gula pasir milik PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN VI) yang melibatkan PTPN XI dan 11 (sebelas) peserta lelang gula.
Secara umum KPPU menilai pengaturan komoditi gula baik gula rafinasi maupun gula kristal putih cenderung mengarah pada inefisiensi dan ketidakadilan bagi konsumen.
Penetapan Harga Acuan Penjualan merugikan konsumen akhir karena mengacu pada industri yang tidak efisien (pabrik dengan mesin tua atau produktivitas rendah), sementara sangat menguntungkan bagi produsen gula yang mampu memproduksi gula dengan produktivitas tinggi serta biaya pokok relatif rendah.
Industri yang belum efisien dalam produksinya tersebut membuat Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan harus melakukan importasi. Tahun ini misalnya, dengan kebutuhan nasional tahunan sebesar 2,93 juta ton dan produksi nasional sekitar 2,38 juta ton, diperkirakan masih dibutuhkan importasi sekitar 708 ribu ton per tahun.
Ketidakefisienan itu juga berakibat tingginya harga gula di dalam negeri sehingga konsumen harus membayar mahal. Kondisi pasar yang cenderung oligopoli juga membuka peluang koordinasi antar pelaku usaha dalam mengendalikan industri.
Tercatat pangsa pasar produsen gula konsumsi dikuasai secara berurutan oleh PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), Sugar Group, dan Gunung Madu. Dalam kondisi ini, kebijakan Pemerintah harus mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuatan oligopoli pelaku usaha di industri. (JB Rumapea)