Martumba, Warisan Batak yang Mulai Terlupa, Dihidupkan Kembali Lewat Festival dan Peran Dosen Universitas HKBP Nommensen

SIANTAR, BLINKISS – Di tengah gempuran modernisasi dan derasnya arus teknologi, banyak warisan budaya tradisional perlahan menghilang dari ruang kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah martumba—seni pertunjukan khas Batak Toba yang kaya makna, namun nyaris tenggelam dalam ingatan generasi muda.
Berangkat dari keprihatinan itulah, Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar berinisiatif menghidupkan kembali martumba melalui sebuah festival sederhana di Tarutung. Menariknya, festival ini tidak hanya menampilkan pertunjukan, tetapi juga melibatkan langsung para dosen universitas, termasuk Pdt. Partohap Sihombing, yang selama ini dikenal aktif melestarikan nilai-nilai budaya Batak.
Menurut Pdt. Partohap, martumba bukan sekadar seni hiburan. Ia adalah media pendidikan dan penyampai nilai-nilai sosial, spiritual, dan moral yang telah diwariskan turun-temurun. Nama martumba sendiri berasal dari bunyi alu saat menumbuk padi—“tum…ba…tum…ba”—irama yang mencerminkan ritme kehidupan masyarakat agraris Batak.
“Martumba adalah bahasa jiwa. Lewat nyanyian, gerakan, dan puisi, tersampaikan pesan-pesan kehidupan untuk anak muda, orang tua, hingga pemerintah. Ia mencerminkan solidaritas dan identitas Batak yang kuat,” jelas Pdt. Partohap, Sabtu (14/6/2025).
Diperkirakan berasal dari kawasan Pahae, Tapanuli, martumba dahulu sering dipertunjukkan oleh gadis-gadis remaja dalam acara adat, kegiatan gereja, hingga perayaan nasional. Saat alat musik belum tersedia, martumba menjadi panggung komunal untuk menyampaikan petuah, peribahasa, dan nasihat yang membentuk karakter generasi.
Namun seiring perkembangan zaman, martumba perlahan tersisih. Bukan hanya sebagai pertunjukan, tetapi juga dari sisi nilai dan fungsi sosialnya. Inilah yang mendorong Pdt. Partohap dan rekan-rekannya di Universitas HKBP Nommensen bergerak. Festival ini menjadi langkah awal revitalisasi martumba ke tengah masyarakat, terutama generasi muda.
“Kita ingin martumba kembali menjadi media orang tua menyampaikan harapan kepada anak-anak mereka, agar tumbuh menjadi pribadi yang berguna, bukan beban bagi masyarakat,” ujarnya.
Upaya pelestarian ini pun tidak berhenti di satu titik. Dalam rencana jangka panjang, martumba akan dibumikan kembali lewat kolaborasi dengan gereja dan lembaga pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Harapannya, martumba tidak sekadar dipertahankan, tetapi juga tumbuh sebagai bagian hidup budaya Batak masa kini—mengakar, berdetak, dan menyatu dalam denyut zaman. (Agung)