Pedagang Nakal Tolak Uang Tunai & Bebani Biaya QRIS
3 min readBlinkiss.id, Jakarta
Bank Indonesia (BI) telah melarang pedagang untuk menolak pembayaran tunai meski saat ini sudah terdapat layanan QRIS.
Selain itu, mereka juga tidak boleh membebankan biaya administrasi lebih kepada pembelinya. Sebagaimana diketahui transaksi pembayaran melalui sistem cashless atau nontunai semakin marak di masyarakat.
Tentu ini pun memicu telah banyak merchant atau warung yang menolak transaksi dengan uang tunai dengan alasan kepraktisan dan keamanan.
Hal ini memancing pertanyaan: apakah sebenarnya boleh merchant atau warung menolak transaksi uang tunai? BI menegaskan, pedagang tidak boleh menolak pembeli menggunakan koin.
“Kita kembali ulang bahwa Pasal 23 Undang-undang Mata Uang, itu jelas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah NKRI,” ujar Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono lewat keterangannya dikutip Selasa (22/10/2024)
Dengan adanya ketetapan larangan penolakan itu, maka sebetulnya pedagang tidak boleh yang hanya memberikan opsi bagi para pelanggannya untuk pembayaran digital. Sebab, Pasal 23 UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang melarang praktik itu.
“Sehingga kami tetap dorong, kita wajib menerima uang rupiah dalam bentuk fisik. sekali lagi saya tegaskan, kita harap semua merchant tetap menerima uang tunai,” tegas Doni.
Dijelaskan Dia, BI hingga kini pun masih terus mencetak uang rupiah secara tunai, baik kertas maupun logam. Hingga saat ini, total Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 9,96% (yoy) menjadi Rp 1.057,4 triliun.
“Jadi kita tetap cetak uang kartal dan masih tumbuh. Maka, supaya bisa membantu kita merchant diwajibkan menerima uang cash,” papar Doni.
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Marlison Hakim menjelaskan masyarakat wajib menggunakan rupiah sebagai alat transaksi. Rupiah dibagi tiga, yaitu kartal atau uang tunai, uang elektronik, dan uang digital.
“Uang digital kan sedang dalam proses. Uang elektronik yang tadi non-tunai. Sehingga itu hanya masalah caranya saja,” tambahnya.
Di sisi lain, BI juga terus mendorong pembayaran non tunai. Selain efisiensi ekonomi, pembayaran non tunai dapat mengantisipasi pemalsuan uang.
Pembayaran non tunai sendiri nyatanya makin diminati tercermin dari pertumbuhan yang semakin melambat. Meskipun, bagaimanapun karakteristik masyarakat Indonesia, secara demografi yang beragam, geografis yang kepulauan, dengan kendala teknologi yang belum merata seluruh daerah.
Sehingga, kebutuhan uang kartal tetap masih diperlukan oleh masyarakat.
“Sehingga itulah kewajiban Bank Indonesia untuk selalu menyediakan uang kartal tadi. Kami selalu edukasi pada masyarakat, bahwa masyarakat tidak boleh menolak transaksi dalam bentuk rupiah. Bahwa pembayaran non-tunai, tunai itu hanya masalah cara, tapi prinsipnya adalah rupiah,” tegasnya lagi.
Terkait transaksi digital, khususnya QRIS, pejabat BI juga buka suara soal praktik penambahan biaya kepada konsumen yang melakukan pembayaran dengan metode QRIS. BI secara tegas melarang pedagang membebankan biaya tambahan oleh pedagang kepada konsumen dengan alasan penggunaan metode pembayaran QRIS.
“Kalau misal pedagang menambahkan boleh atau tidak? Tidak boleh,” sambung Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta.
Filianingsih mengatakan pembeli yang menemukan praktik tersebut dapat melaporkannya kepada BI. Disampaikan Dia lagi, bahwa pedagang yang membebankan biaya kepada pembeli dapat diberikan sanksi.
Sanksi itu, sambungnya dia, tercantum dalam Peraturan BI tentang Penyedia Jasa Pembayaran yang tercantum pada Pasal 52 peraturan itu disebutkan penyedia barang dan jasa dilarang mengenakan biaya tambahan kepada pengguna jasa atas biaya penggunaan jasa.
“Jadi dilarang,” ujar dia.
Filianingsih mengatakan sanksi yang bisa diberikan di antaranya PJP wajib menghentikan kerja sama dengan merchant yang melakukan tindakan merugikan. Contohnya, adalah kerja sama dengan pelaku kejahatan, lalu memproses penarikan gesek/tunai, lalu mengenakan biaya tambahan kepada pengguna jasa.
“Ini bisa disampaikan, nanti harus dihentikan bahkan nanti pedagangnya bisa masuk blacklist,” ujar dia.
Imbauan tersebut karena BI masih menemukan adanya praktik pedagang yang menyediakan layanan QRIS namun membebankan biaya layanan atau disebut Merchant Discount Rate (MDR) kepada pelanggannya. MDR adalah biaya layanan yang dikenakan oleh PJP untuk jasa pembayaran melalui QRIS. Tarif MDR QRIS untuk usaha mikro misalnya ditetapkan sebesar 0,3% dari nilai transaksi yang melebihi Rp 100 ribu”. (JB Rumapea)