20 September 2024

Blinkiss ID

Berita dan Video Kilat Terkini

Rupiah Melemah ke 16.445, Apa Benar Jadi Indikasi Krisis Ekonomi.?

2 min read

Blinkiss.id, Medan

Kinerja mata uang Rupiah yang melemah belakangan ini kerap diakitkan masa krisis yang pernah dialami tanah air. Mulai dari krisis 97/98 ataupun krisis di sekitar tahun 2008.

“Ini menjadi acuannya adalah pelemahan Rupiah sudah menyentuh dikisaran 16 ribu terhadap mata uang US Dolar. Padahal situasinya berbeda pada masa lalu, Rupiah yang melemah serta menyentuh 16 ribu bukan indikatornya. Walaupun kinerja mata uang Rupiah tetap menjadi salah satu indikator yang bisa menjelaskan situasi ekonomi makro di tanah air, “sebut Pengamat Ekinomi Sumut, Gunawan Benjamin.

Ditambahkanya, kalau berbicara resesi atau mungkin krisis ekonomi, di masa pandemi Covid 19 kita pernah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif 2.07 persen di tahun 2020 (c to c). Dimana terjadi pertumbuhan negatif secaara kuartalan resmi menunjukan kita masuk jurang resesi. Namun kala pandemi Covid 19 tahun 2020, mata uang rupiah memang sempat melemah hingga menyentuh level 16.300-an per US Dolar, urainya, Jumat (21/6/2024).

Walaupun pelemahan rupiah tersebut hanya kejutan (shock) sesaat di bulan Februari, seiring ditemukannya kasus pasien Covid 19 yang menjadi titik permulaan pandemi Covid 19 di tanah air. Selanjutnya rupiah berbalik menguat ke kisaran level 13.840 per US Dolar pada bulan desember 2020. Padahal kala itu pertumbuhan ekonomi di kuartal ke IV 2020 mencatatkan kontraksi atau resesi, tambahnya.

Belakangan ini,lanjutnya lagi, Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kepala OJK dan LPS dipanggil Presiden terkait pelemahan mata uang Rupiah. Saya menilai Rupiah bisa saja menguat seandainya The FED atau Bank Sentral AS benar-benar memangkas atau setidaknya memberikan gambaran kapan pemangkasan besaran bunga acuannya.

“Karena sikap The FED yang masih belum jelas kapan akan mulai memangkas bunga acuan, menjadi salah satu pemicu menguatnya US Dolar belakangan ini. Jadi US Dolar yang diuntungkan dengan kebijakan Bank Sentral AS tersebut memaksa Rupiah untuk berada pada titik keseimbangan baru (melemah). Walaupun kalau berkaca pada hitung-hitungan moneter hal tersebut terlihat lumrah terjadi,” papar Gunawan.

Akan tetapi, dampak dari depresiasi Rupiah terhadap masyarakat tidak bisa dianggap enteng. Karena pelemahan rupiah bisa membuat harga kebutuhan hidup sehari-hari mengalami kenaikan. Baik kebutuhan pokok seperti Beras, BBM, Bawang hingga kebutuhan produk olahan lainnya seperti mi instan dan banyak lagi. Disinilah pentingnya sinergi antar lembaga pemerintah, sehingga upaya untuk mengendalikan rupiah bukan hanya ada di pundak BI saja.

Disebutkan Gunawan, untuk mengendalikan rupiah saat ini, kita perlu menjaga kinerja ekspor (neraca dagang) yang belakangan mengalami tekanan seiring dengan memburuknya kondisi ekonomi Negara lain (mitra dagang). Kita perlu memastikan bahwa ketergantungan impor harus dikendalikan dalam taraf aman untuk menjaga neraca pembayaran. Kita perlu memastikan ekonomi tetap tumbuh dengan anggaran fiskal yang ada.

Dan masalah eksternal lain yang tak kalah penting, seperti upaya untuk memitigasi dampak perang di Negara lain, atau perlambatan ekonomi maupun resesi di Negara lain agar tidak merembet ke tanah air, jelasnya.

Masih ada banyak lagi hal lain yang harus diakukan secara bersama. Jadi bukan mengacu kepada pelemahan rupiah saja untuk menjelaskan situasi ekonomi di tanah air. Walaupun kita sepakat bahwa rupiah yang stabil adalah yang paling aman bagi ekonomi nasional, tutup Gunawan. (JB Rumapea).

Facebook Comments Box
Translate »